Jumat, 07 Januari 2022

KARYA OF THE YEAR

                                                          Gift In October ‘15

Oleh: Misbahul Ummy

Namaku Zas, seorang gadis berumur 17 tahun yang sangat menyukai bulan Oktober. Kenapa harus Oktober? Karena di bulan ini, aku selalu saja mendapatkan hal baik yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun, bulan Oktober di tahun ini berbeda. Oktober kali ini menghadiahkan hal yang sangat buruk kepadaku, bahkan aku tidak pernah menduga hal ini akan menimpaku.

Orang-orang disekitar mengenalku sebagai anak yang pendiam. Mereka menerka bahwa alasan aku menjadi anak pendiam adalah karena aku kehilangan orang tua serta kakakku dalam sebuah kejadian mengenaskan, sehingga membuatku trauma dan enggan untuk berinteraksi dengan orang disekitarku. Mereka semua benar, kejadian itu menutup jalan pikiranku hanya untuk menyadari bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia ini, walaupun aku kehilangan seluruh keluargaku. Kejadian itu pula yang membuatku benci dengan bulan Oktober.

Oktober 2015

Malam ini, hujan turun dengan derasnya seakan-akan ia ikut bersedih atas kematian keluargaku. Aku hanya duduk termenung dihadapan tubuh-tubuh kaku yang ada di depanku, tubuh mereka pucat sekali. Tidak ada lagi senyum di wajahnya, tidak akan pernah ada lagi. Keluargaku tewas akibat serangan dari orang yang tidak dikenal atau bisa jadi ia adalah pembunuh bayaran. Polisi dan ambulance mulai berdatangan saat aku dengan sigap melapor setelah melihat ayah, ibu, dan kakakku terbaring kaku dengan darah yang bercucuran dan merembas ke lantai-lantai bersih rumahku.  Sejujurnya, aku bingung harus melakukan apa saat itu. Aku menangis sejadi-jadinya, kepalaku pusing seketika. bahkan, sore itu, saat pulang dari kunjungan sekolah pun aku sudah membayangkan sambutan riang keluargaku dan makan malam dengan nasi hangat ditemani  lauk pauk lezat buatan ibu. Tapi, bayangan indah itu hilang seketika ketika aku pulang ke rumah dan disambut dengan jasad keluargaku yang terbaring kaku di lantai rumah.

Polisi yang bertugas membawaku ke kantor polisi untuk diintrogasi sebagai keluarga korban. Mereka menanyakan satu dua pertanyaan kepadaku, tentang kehidupan kami,dan pertanyaan terpentingnya adalah; Apakah ada yang membuatku curiga akhir-akhir ini?

“Ayah tampak resah setelah menerima telepon dari orang yang tidak dikenal, aku tidak tahu itu siapa. Yang aku tahu akhir-akhir ini bisnis ayah tidak mulus seperti dulu.” jawabku dengan tatapan kosong. Polisi mengangguk seraya menarikan jemarinya di keyboard komputer.

Setelah diintrogasi oleh polisi, aku diantar ke pemakaman keluargaku. Satu persatu teman kantor ayah datang, begitupun dengan tetanggaku. Mereka yang hadir melihatku dengan tatapan iba dan sedih karena kondisiku saat ini. Jasad keluargaku sudah dimakamkan, mereka sudah berada di peristirahatan terakhir. Setelah pemakaman selesai, polisi mengantarku ke panti asuhan kota.

“Kamu akan baik-baik saja disini. Jalanilah hidupmu dengan baik, buatlah orangtuamu bangga dan senang karena memiliki anak sekuat dirimu.” inilah kalimat yang dilontarkan oleh polisi tersebut saat ia akan pergi dari panti asuhan. Aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

Sebulan kemudian, pengasuh di panti mulai khawatir dengan keadaanku. Sudah satu bulan aku tidak pernah mengeluarkan suaraku sedikit pun. Mereka menduga bahwa saraf otakku sudah tidak produktif lagi akibat trauma yang aku alami. Aku tidak lagi pergi kesekolah. Aku menghabiskan waktuku di kamar dan taman panti. Aku juga sering duduk melamun di taman panti dan memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah; “Kenapa aku harus melanjutkan hidup, sedangkan keluargaku tidak ada lagi disisiku?” aku putus asa. Aku tidak memiliki keberanian dan kekuatan untuk menjalani hidup normal seperti anak-anak panti lainnya. Aku sering terbangun di tengah malam akibat mimpi buruk tentang kejadian malam itu. Lalu, aku menangis sejadi-jadinya hingga kembali tertidur lelap. Teman-teman panti menganggapku sudah gila, karena aku sering tersenyum, bahkan menangis saat duduk sendirian di taman panti.

Hingga pada suatu hari, panti asuhanku mendapatkan telepon dari kepolisian yang menangani kasus pembunuhan keluargaku. Pengasuh panti menjumpaiku saat aku duduk di taman.

“Zas, maafkan saya karena mengungkit pembahasan ini, kepolisian resmi menutup kasus pembunuhan keluargamu karena pelakunya sudah tertangkap!” jelas pengasuh. Rasa penasaranku besar sekali hanya untuk mengetahui pelaku pembunuhan itu.

“Siapa pelakunya? Mengapa ia melakukan itu terhadap keluargaku?” aku mengeluarkan suaraku yang sudah tidak terdengar lagi semenjak satu bulan yang lalu.

“Ia adalah pembunuh bayaran dari CEO perusahaan tempat ayahmu bekerja. Motif pembunuhannya karena CEO perusahaan ayahmu muak dengan saran yang diberikan oleh ayahmu. Perusahaan itu mau bangkrut karena kelalaian dari CEO sendiri.  Tetapi ayahmu dengan baik hati menawarkan beberapa saran yang mungkin dapat menaikkan harga saham perusahaan, namun ide-ide itu ditolak mentah-mentah oleh CEO tersebut. CEO tersebut merasa bodoh karena tidak bisa menghasilkan ide-ide cemerlang seperti yang ayahmu lakukan. Lebih tepatnya ia iri dengan ayahmu. Dan faktanya adalah, ternyata CEO tersebut merupakan teman SMA-nya ayahmu. Tidak hanya iri karena ayahmu pintar dalam mengelola perusahaan, tetapi juga karena ia memiliki keluarga yang harmonis walaupun hidupnya sederhana. Hidup CEO perusahaan tempat ayahmu bekerja tidak semulus yang dibayangkan, ia sudah bercerai beberapa kali, ia juga tidak pandai dalam mengelola perusahaan. Tetapi karena ia adalah satu-satunya penerus perusahaan, maka ia dengan terpaksa menjalani takdir hidupnya. Ia mulai mengancam ayahmu beberapa minggu sebelum hari pembunuhan. Tetapi ayahmu tidak menanggapinya dengan serius. Ia mulai kesal dan akhirnya mengirimkan pembunuh bayaran agar ayahmu dan keluarganya musnah dari dunia ini.” Jelas pengasuh panti.

Tak terasa air mataku jatuh. Perasaanku campur aduk, aku bingung, marah, sedih, dan geram dengan kelakuan CEO tersebut. Alasan membunuh keluargaku sangat tidak masuk akal di otakku. Pengasuh memelukku dengan erat dan menyemangatiku agar aku dapat melanjutkan hidupku dengan baik.

Desember 2015

“Zas, ayo keluar. Sebentar lagi ada festival kembang api untuk merayakan tahun baru!” ajak Rasi, teman sekamarku di panti.

Aku hanya mengangguk dan langsung bangkit dari dudukku. 5 menit kemudian, terdengar letusan kembang api. Kami semua serempak menengadah ke langit, kembang api mulai menghiasi langit malam bulan Desember. Rasi merangkulku dengan senyuman lebarnya, ia tampak sangat bahagia malam ini. Tanpa kusadari, aku ikut menyunggingkan senyumku yang sudah tidak tampak lagi semenjak kejadian di bulan Oktober.

“Zas, tahukah kamu kenapa aku baru berani mengobrol denganmu semenjak tiga hari yang lalu?” tiba-tiba Rasi bertanya kepadaku. Aku menggeleng. Rasi tertawa renyah melihat responku, “Sepertinya suaramu sangat berharga ya, bahkan menjawab pertanyaanku saja dengan gelengan kepala.” Aku tersenyum menanggapi.

“Karena kamu mengingatkanku kepada diriku tiga tahun yang lalu.” Rasi menjawab dengan tatapan sendu. Aku mengernyit tidak mengerti.

“Sepertinya kamu tidak mengerti maksudku.”

“Tiga tahun yang lalu, keluargaku juga tewas akibat pembunuhan. Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Ayah, ibu, dan adikku di tusuk oleh teman ayahku karena ia merasa ayah akan menghancurkan karirnya. Padahal, pada saat itu ayah tidak pernah bermaksud untuk menghancurkan karirnya sama sekali. Ayah hanya ingin membantu. Ketika aku mendengarkan kisah hidupmu dari pengasuh, aku langsung memikirkan perasaanku tiga tahun yang lalu. Aku memikirkan masa-masa disaat aku putus asa untuk melanjutkan hidupku. Aku sama sepertimu, kisah kita berdua sama Zas. Karena itulah aku tidak berani mengusikmu selama ini karena aku tahu kamu membutuhkan waktu untuk menyendiri dan berusaha hidup seperti orang normal, seperti yang aku alami dulu.” Rasi melihatku dengan matanya yang berbinar. Aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa kisah hidup kami begitu mirip? Tanpa kusadari, aku meneteskan air mataku. Rasi pun mendekapku dalam pelukannya.

“Mulai sekarang, terbukalah kepada orang-orang di sekitarmu. Kamu tidak akan pernah sendiri Zas!” Rasi berbisik pelan.

“Tapi aku membutuhkan waktu yang lebih banyak Rasi. Tidak sekarang. Aku masih tidak sanggup untuk memulainya sekarang.” terangku.

“Tidak apa-apa Zas, semua itu butuh proses. Begitupun aku. Aku baru membuka diriku kepada orang di sekitar semenjak dua tahun setelah kejadian itu.” Rasi melepaskan pelukannya seraya menyunggingkan senyum manisnya kepadaku. Aku pun tersenyum. Kami pun kembali menatap ke langit malam bulan Desember.

Oktober 2016

Sebenarnya aku takut untuk mengahadapi bulan Oktober kali ini. Aku takut kejadian di bulan Oktober sebelumnya terulang kembali. Aku memutuskan untuk membuka diriku lagi kepada orang-orang disekitarku, aku memutuskan untuk menjadi diriku seperti sebelum terjadinya kejadian mengenaskan itu.  Rasi tersenyum senang melihat perubahan besar dari diriku. Aku sudah mulai bergaul dengan anak-anak panti, tidak pernah menyendiri lagi di taman, aku juga memutuskan untuk kembali bersekolah, aku juga sering berkunjung ke pemakaman keluargaku bersama Rasi dan pengasuhku. Aku memutuskan untuk menjadi lebih baik di bulan yang dulu pernah menjadi bulan terfavoritku dalam satu tahun, bulan Oktober. Aku sadar bahwa semuanya belum berakhir, masih banyak petualangan hidup yang harus aku hadapi. Aku juga sadar bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia ini, walaupun keluargaku tidak lagi berada di sisiku. Dan untungnya, bulan Oktober kali ini menghadiahkan hal yang sangat bermakna bagi kehidupanku, yaitu keberanian dan kekuatan untuk kembali menjadi seorang manusia. Terima kasih bulan Oktober, kamu mengajarkanku banyak hal sehingga aku bisa menjadi pohon yang akan tetap kokoh walau diterpa badai sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RUBRIK GEOSCIENCE

  SALAR DE UYUMI             Apa sih salar de uyumi? Salar de Uyuni adalah dataran garam terbesar di dunia yang terletak di barat daya Bol...